Archive for 3 Januari 2009

panggil1. Ranub Lampuan

BISMILLAH. Saudaraku. Dua minggu yang lalu, di Jakarta saya bertemu dengan dua orang teman yang mempunyai latar belakang yang sama, kejadian semasa yang sama dan pandangan ke depan yang sama, setidaknya menurut pendapat saya. Sebutlah nama yang pertama Elfian dan yang kedua Nur. Saat ini kedua mereka telah sukses di karir masing-masing. Elfian mempunyai LSM internatisional yang bereputasi and Nur mempunyai perusahaan yang maju. Saya telah berteman dengan mereka sejak 20 tahun yang lalu, mereka tidak berubah kecuali sedikit saja. Mereka juga mengatakan saya tidak berubah. Saya pikir dari pada mempercayai orang berubah masih lebih baik berfikir orang tidak berubah. Sering yang menjadi masalah adalah selalu sebelumnya kita tidak kenal betul orang yang kita percaya.

after 20 year, we meet again with a little change

after 20 years, we meet again with a little change

Hidangan di meja mulai datang ketika pembicaran mulai serius, tapi seperti biasa Elfian selalu punya ide untuk tidak terlalu serius sampai makanan selesai dimakan, tidak heran jika “berubah sedikit”, badannnya tambah gemuk dari 20 tahun lalu, namun suara dan cara memandang masih 100% sama. Elfian menjadi sponsor untuk pertemuan ini. Ini satu kebahagian yang tidak terlupakan, sebuah penghormatan yang mengkontribusi esteem saya. Kadang saya berfikir Elfian jauh lebih sukses dari saya, namun rindu dan pertemanan yang sangat berkesan dulu, membuat saya memandangnya itu bahagian dari diri saya, saya mendapat undangan makan yang luar biasa sedap.

Nur punya cerita sukses yang lebih menarik. Ia membangun perusahaan di daerah konflik dan bencana. Padahal Elfian yang begitu sukses bahkan tidak siap untuk pulang kampong, Ia tidak dapat berhenti menangis. Alhamdulillah, saya punya Nur yang sangat pemberani, meski takut naik Damri ke airport, Nur punya pengalaman yang lebih baik dari saya dari sisi leadership. Ia memimpin orang kampung. Saya coba bayangkan orang di kampung setelah konflik, Dia membimbing mereka dengan kesabaran dan cinta. Saya kagum.

Apa yang kita bicarakan, tidak ada yang istimewa tapi ajaib. Sop buntut yang ajaib, rasanya seperti masakan mami saya. Rokok Ji Sam Sue yang ajaib, karena saya ikut isap, padahal saya sudah bertahun-tahun tidak merokok. Dan yang paling ajaib kami saling memandang. Ini mungkin yang paling ajaib, karena kami bukan sedang bercinta. Katakan dibalik pandangan itu ada misteri. Columbus tidak akan menemukan benua amerika kalo takut misteri, Pasukan Islam tidak pernah menyeberang ke Kordoba kalo takut misteri. Saya ingin bersaudara dengan Pasukan Islam dan bersahabat dengan Columbus.

Setelah makan, sedikit yang biasanya bisa kita lakukan kecuali mengikuti keinginan untuk tidur. Saya mencoba untuk merebahkan kepala di sofa yang empuk di restoran yang saya yakin salah satu paling mahal di Jakarta. Wah, “memang bes” kata orang Malaysia. Saya rileks dan menikmati, ini yang membuat saya percaya bahwa rejeki yang Elfian dapat ini halal. Saya menutup mata, bertanya apa lagi yang saya cari? Punya teman yang satu pemurah, teman yang satu lagi pemberani. Tidak ada. Biarlah saya tidur. Tapi saya merindukan suaranyan mereka, nadanya seperti angklung, traditional tapi membangkitkan. Setelah “tidur” semenit, saya bangun.

Kita mulai bicara topik yang membosankan tapi memabukkan, yaitu keadaan Umat. Siapa yang tidak kenal umat, Rasullah menjelang wafatnya, mengulang kata-kata ini tiga kali. Itu yang membuat kami pernah mabuk, mabuk cinta pada Umat. Kami dulu pun pernah bercinta dengan Umat. Ya kami. Elfian, saya, Nur dan banyak lagi pemuda yang kelihatan seperti Al Kahfi bercinta dengan umat. Pengorbanan cinta kami kepada Umat, tidak terlalu hebat, cuma sebatas janji membersihkan tahi lembu dari lapangan bola jika kami bole bertemu Umat.

Kami yang pernah bercinta dengat Umat, memendam sedih, Umat teraniaya, Umat terpinggirkan, Umat kehilangan dirinya. Ya sudah biar ajalah, kata Pembisik, nikmati aja kehidupan, minum kopi dulu, makan ais krim dulu. Tapi hati tidak bisa senang, sampai impiam Umat seperti yang ada di kepala kami menjadi nyata.

Membeli sekotak kemenyan, kain sutra 7 warna, emas 3 mayam, syarat untuk dukun yang akan menyantet Umat, supaya kembali seperti dulu. Kita bagi tugas, saya memilih membeli sekotak kemenyan. Saya ingat ketika saya mencium bau kemenyan ketika bekerja di kantor hingga pukul 2 pagi, pada suatu malam. Rupanya bau kemenyan dari lampu TL. Lampu TL dibuat dari salah satu bahan kemenyan, Ini yang bukan misteri.

Saya befikir, apa tidak dukun itu nanti bertingkah, minta, 9 mayam, kain sutra tambah lagi, wah, tambah repot. Saya pikir, biar kita jadi dukun aja. Paling lama belajar 2 tahun, jaminan Umat balek lagi seperti biasa. Tapi sebelum usul ini begitu serius, ada pertanyaan, apakah itu tidak syirik, terus apa tidak membuat kita tidak perlu mandi? Karena saya pernah dengan dukun akan kehilangan ilmunya kalo mandi, jadi cukup pake bedak aja seumur hidup.

Saudaraku, Pada prinsipnya saya setuju untuk tidak menjadi dukun. Terus, bagaimana mengajak kembali Umat? Saya berkeinginan blog ini menjadi tempat menyampaikan pendapat untuk ini. Blog saya bagi menurut kebutuhan dari yang diprioritaskan. Bagaimanapun saya dengan senang hati menerima komentar atas ide-ide pada tiap post. Khusus untuk posting saya, saya kodekan dengan “word1”, “word2”, dst. Saya percaya bahwa ada sebuah tenaga yang besar, besar sekali dalam masing masing kita untuk melahirkan pendapat. Namun sering kali kita tidak punya kesempatan, untuk menyampaikan. Komentar, tulisan, bukan hanya dari, Saya, Elvian, Nur atau Vanda, tapi juga Fulan and Fulin. Kita punya kesempatan yang sama disini. SAME CHANCES FOR ALL.Salam

3 Januari 2009 at 15:16 3 komentar


Kategori

Kalender

Januari 2009
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  

Arsip